Dampak Globalisasi terhadap Indonesia, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin. Sangat menyedihkan sekali, untuk mengundang Investor masuk Indonesia, buruh murah yang ditawarkan. Jangan asyik dengan Tukul, mari saksikan penderitaan BURUH Indonesia, karena pejabat Indonesia, masih bergelimang dengan Korupsi. oleh British Journalist.
Forum Freedom, 7 Mei 2007
Tema : Globalisasi dan Buruh
Narasumber : Ari Perdana
Hamid Basyaib (HB):
Kalau kita bicara globalisasi, dalam konteks ekonomi. Kita bisa melihat
globalisasi ini sebagai mobilitas sumber daya. Kita bisa mendefinisikan sumber daya ini
sebagai modal finansial, dan mobilitas di sini adalah mobilitas barang dan jasa.
Kita juga bisa mendefinisikan mobilitas itu sebagai mobilitas manusia. Jadi
pekerja itu bisa dengan mudah mencari kerja di negara lain. Dengan gaji yang lebih
besar.
Sebenarnya kalau kita bicara tentang halhal yang ideal, menyangkut mobiitas
manusia, seandainya di dunia ini tidak ada batasbatas negara, tidak ada batasbatas
keimigrasian, artinya orang bisa dengan mudah masuk Malaysia, misalnya, dan mencari
pekerjaan di sana. Orang Meksiko dapat dengan mudah mencari pekerjaan di A.S. tanpa
perlu dikejarkejar petugas imigrasi. Tapi masalahnya kita belum hidup di dunia yang ideal seperti itu. Masih ada petugas imigrasi yang mengejarngejar para imigran. Memang kita belum mencapai tahap seperti itu. Tapi kalau kita melihat lebih dekat tentng pergerakan bebas manusia, banyak orang melihat bahwa ini adalah salah satu cara paling efektif untuk mengurangi kemiskinan di dunia..
Kedua, dunia ideal di mana manusia bisa bebas bergerak kan belum
tercapai, yang sudah kita lihat adalah pergerakan barang dan jasa, melalui impor dan
ekspor.
Kalau kita bicara pekerja, dalam ekonomi itu kan ada konsep permintaan turunan.
, globalisasi dikritik hanya memiskinkan kaum
buruh. Kalau ada modal besar, biasanya untuk memaksimalkan keuntungan, yang
dikorbankan adalah hakhak kaum buruh.
Misalnya masalah kontrak, kontrak yang terus diperpanjang, yang justru
mengorbankan hakhak kaum buruh. Ini kata para aktivis perburuhan. Apa benar seperti
itu.
Ape:
Masalahnya memang agak kompleks. Tapi problemnya begini. Ada atau tidak ada
globalisasi, eksploitasi terhadap pekerja itu kan selalu mungkin terjadi. Kalau kita
tertutup sekalipun, bukan berarti perusahaan domestik itu tidak akan mengeksploitasi
kaum pekerja. Bahkan kalau semua dinasionalisasi, bukan berarti BUMN itu tidak akan
mengeksploitasi tenaga kerja. Jadi melihatnya harus seperti itu.
Nah, memang sekarang banyak kalangan menghubungkan globalisasi itu dengan
tuntutan maksimalisasi keuntungan, yang membuat perusahaanperusahaan besar itu
selalu mengambil surplus yang sebesar mungkin, yang sebenarnya adalah hak kaum pekerja.
Itu kita mulai masuk dalam tataran kebijakan dan regulasi perburuhan. Ini
argumen yang universal. Globalisasi memang harus diimbangi dengan social protection.
Ini untuk mengurangi kemungkinan bahwa hakhak dasar buruh itu terabaikan.
Saya ingin komentar tentang tenaga kerja kontrak. Saya setuju bahwa ini adalah
problem. Regulasi yang ada sekarang, tenaga kerja kontrak itu hanya 3 tahun, setelah itu
harus dijadikan permanen.
Pertanyaannya adalah mengapa fenomena tenaga kerja kontrak ini menjadi
marak? Janganjangan ini justru buah dari kebijakan yang ingin sekali memproteksi
tenaga kerja. Dengan adanya regulasi yang terlalu mengikat, terlalu menekan pengusaha,
maka para pengusaha menjadi enggan mempekerjakan buruh. Jadi janganjangan ini
justru buah yang tak terelakkan dari kebijakan yang ingin sekali memproteksi tenaga
kerja itu sendiri.
HB:
Mengapa para pengusaha itu memilih kontrak?
Ape:
Karena kalau kontrak, misalnya tidak lagi dibutuhkan, itu tenaga kerjanya bisa tinggal
diberhentikan. Kalau pekerja permanen kan istilahnya dipecat, dan kalau dipecat itu harus
memberikan pesangon, dan pesangon itu sekian kali gaji, dan ini memberatkan sekali.
Jadi ini memang problem, tapi janganjangan ini justru buah dari kebijakan yang
ingin sekali memproteksi buruh itu sendiri.